Jumat, 25 April 2014

Bermain-main dengan kebencian

Saya punya satu sifat buruk yang membuat saya mirip seperti  anak kecil atau semacam binatang peliharaan : I always love deeply and hate terribly.

Saya mencintai dan membenci dengan cara yang sama besarnya dan sama sungguh-sungguhnya. Dan meskipun saya mempelajari psikologi lebih lama dari yang saya bisa katakan sehingga mengetahui banyak cara untuk terapi psikis tapi saya tidak bisa mengubah sifat saya itu bagaimana pun caranya.

Lucunya kadang-kadang saya bingung jika ditanya kenapa saya mencintai atau membenci seseorang. Bukan karena saya tidak punya alasan yang jelas tapi seringkali alasan itu begitu prinsipil sehingga saya merasa orang lain tidak akan mengerti. Jadi kalau ada orang mempertanyakan kenapa saya mencintai atau membencinya saya biasanya berpikir kalau orang tersebut punya masalah dengan harga dirinya.

Kata orang hatred is love that missed its way. Itu mungkin saja. Meskipun bagi saya pribadi cinta dan kebencian berakar dari dua hal yang sama sekali berbeda.

Terus terang saya tidak suka mendapati diri saya membenci sesuatu. Bukan kita yang mengatur dunia ini jadi keberadaan sesuatu yang tidak kita suka itu mutlak adanya, maksud saya sudah pasti akan ada. Tidak menyukai sesuatu berkaitan dengan ketidak mampuan kita untuk beradaptasi atau membuat diri kita sendiri nyaman pada keadaan apapun. Jelas beda dengan membenci sesuatu. 

Kebencian, dan cinta juga sebenarnya, adalah semacam tirai yang menutupi penilaian kita akan sesuatu. Orang jawa bilang Wong tresna ra kurang pangalembana. Wong gething ra kurang panyacate. Sesuatu yang agak memalukan sebenarnya, kalau dilihat dari prinsip keadilan. Tapi kita, semua orang saya rasa, membentuk opininya masing-masing berdasarkan banyak alasan dan kepentingan sehingga hal seperti itu wajar saya.

Bertahun-tahun saya membenci seseorang. Kadar kebencian itu sama atau bahkan bertambah dari tahun ke tahun. Beberapa orang bersikap sembrono, tidak memikirkan akibat perbuatannya kepada orang lain dan merasa baik-baik saja selama waktu itu. Orang yang semacam itu benar-benar ada. Dan seperti biasa, ketidakberuntungan saya, mempertemukan saya dengannya. Saya pikir, ratusan kali saya memikirkan ini, masalah akan selesai jika saya memukulnya sampai roboh. Tapi saya tidak melakukannya, sebenarnya karena tidak punya kesempatan saja hehehe..., saya kuatir itu malah akan membuatnya tidak memdapatkan moral lesson yang saya harap dia mendapatkannya. Namun karena saya harus melampiaskan perasaan saya itu, demi kesehatan saya, maka saya memakai cara lain. Saya menumpahkan kebencian itu ke dalam tulisan. 

Pada awalnya itu terlihat merupakan penyelesaian yang elegan. Tapi begitu tulisan itu dimuat saya dihantam rasa penyesalan yang lebih besar daripada yang saya duga. Kenapa saya menuliskannya, tulisan yang jelas akan dibaca oleh orang yang saya cintai, myself? Seolah-olah saya melampiaskan kebencian dengan membabibuta pada orang yang mungkin tidak memahaminya. Saya menyesalinya. 

Satu hal yang dapat saya ambil pelajaran dari kejadian ini adalah membenci itu tidak apa-apa tapi mengekalkannya dalam sebuah karya sama sekali tidak elegan. Or, at least, I think so.

Rabu, 23 April 2014

Enzo

Berhubung ponsel saya yang lama rusak, saya membeli ponsel baru. 

But my unluckiness lead me to this. Ponsel ini tidak sebagus yang ada di dalam iklannya. Saya menyesal membelinya pada menit pertama ponsel ini sampai ke tangan saya. Kameranya tidak sebagus kamera di ponsel saya yang lama. Karena kemampuan mengambil gambarnya (dalam megapixel) dua kali lebih besar dari ponsel saya yang lama saya mengharapkan ponsel ini mampu mengambil gambar dengan hasil yang setidaknya dua kali lebih bagus. Ketika saya mengambil gambar rajutan saya saya berharap benangnya akan terlihat. Tetapi ternyata tidak.

Terus terang saya kesal sekali. Kepada diri saya sendiri tentu saja. Kenapa setua ini saya masih saja bisa jadi korban strategi marketing orang lain? Ponsel serupa ini dipakai dalam drama korea yang pernah saya lihat. Saya lupa kalau siapapun akan terlihat keren dalam drama. Dan terlihat keren berbeda jauh dengan benar-benar keren

But in the end, saya harus menerimanya. Saya tidak akan membuangnya meskipun godaan untuk itu sangatlah besar. Saya biasanya selalu menyayangi apapun yang saya miliki.

So, anyone, meet Enzo, my new baby.


Rabu, 16 April 2014

What does it mean of being older?



Malam ini saya tidur begitu nyenyak tapi terbangun karena telepon dari keluarga saya. Masih jam dua belas malam tapi kalau dalam zona waktu GMT+6 disana sudah jam 6 pagi. Rupanya hari ini saya berulang tahun. Ibu saya sering bilang kalau saya dilahirkan saat bunga-bunga purbanegara ( gardenia dalam bahasa modernnya) bermekaran. Saat ini tidak ada satu kuntum pun bunga purbanegara yang mekar di kebun saya jadi saya sama sekali lupa.

Paginya saat saya melihat cermin di kamar mandi saya menemukan dua helai grey hair di rambut saya. Dua helai. Berdekatan, di belahan rambut saya. Mood saya langsung berubah menjadi buruk. Saya sering melamun untuk menyenangkan diri sendiri. Dalam lamunan saya itu ada seorang tokoh yang memiliki rambut panjang berwarna perak. Tokoh ini sangat keren, kata-katanya seperti puisi dan kalau pergi selalu diiringi angin yang menghembuskan kuntum-kuntum bunga. Tapi silver hair itu beda jauh sama grey hair. Di dalam palet warna manapun silver itu keren sementara grey itu muram. 

Saya mendapat banyak hadiah hari ini dan di antara hidangan ulang tahun saya ada ikan goreng mentega ala perancis yang sangat enak, tapi sebenarnya saya tidak menyukai perayaan ulang tahun. Birthday is just a day, like another. Nothing special about that. Saya mengatakan ini bukan untuk mengurangi penghargaan saya  pada semua orang yang telah bersusah payah merayakan ulang tahun saya. Saya dikelilingi para malaikat yang bahkan merasa senang walau saya hanya diam dan bernafas di dekat mereka. Its my blessing. Saya tahu itu. Hanya saja saya merasa I am not worth for it.Saya adalah kecacatan dalam kehidupan mereka yang sempura. itulah yang saya rasakan.

What does it mean of being older? Wiser? Smarter? Stronger? Bagi saya tidak. Just growing more cynical day by day, perhaps.

Selasa, 15 April 2014

I am not sorry that I am in love with you




Saya menemukan foto ini saat saya mengetik kata kunci ‘lacy vintage dress’ untuk mencari pola baju di Google. Reaksi pertama saya adalah berteriak ‘kyaaaaaaaaaaaaaaaaa’

Beberapa tahun terakhir saya selalu menunggu-nunggu datangnya musim gugur untuk melihat season terbaru serial The Vampire Diaries.

In spite of everything, tokoh favorit saya dalam serial ini adalah Damon Salvatore. Dia seorang vampire yang impulsive, arogan dan gila. Dia punya dignity dan pride yang mencapai taraf paling egois yang membuatnya bisa melakukan apa saja, termasuk hal-hal buruk, untuk melindungi adiknya dan gadis yang dia cintai. Alasan lain saya menyukainya tentu saja karena dia sangat seksi hehehe....

Season 4 berakhir dengan Elena Gilbert mengatakan I am not sorry that I am in love with you pada Damon. Dan di pertengahan season 5 Damon, setelah melakukan beberapa hal buruk karena merasa Elena mematahkan hatinya, berkata we are in a toxic relationship dan menyuruh Elena berhenti mencintainya. Tapi Elena mengatakan dia tidak bisa melakukan itu lalu mereka berciuman.

Saya selalu merasa agak iri pada vampire’s love ability. Terlepas dari masalah kemanusiaan, ada terlalu banyak pembunuhan di dalam serial ini, mencintai dengan cara semacam itu sepertinya keren. Pertama karena vampire punya badan yang kuat. Baru beberapa waktu terkahir ini saya benar-benar menyadari bahwa untuk bisa mencintai seseorang dengan baik orang harus memiliki tubuh yang kuat. Sebelumnya mencintai dengan tubuh adalah sebuah ide yang out of question bagi saya. Saya jarang memikirkannya. Mungkin karena tubuh saya tidak begitu sehat. Mungkin juga karena saya memandang tubuh sebagai sesuatu yang nilainya kurang dari setengahnya dibanding hati atau pikiran. Bahwa seseorang mampu mencintai orang lain dengan tubuhnya, sesuatu yang paling fana dari keberadaan manusia, itu luar biasa bagi saya.

Kedua karena vampire tidak terikat pada waktu, secara kasar dapat dikatakan kalau mereka itu immortal, walaupun mereka masih bisa dibunuh, tapi kalau mereka hidup dengan baik dan tidak membuat masalah mereka mungkin bisa hidup sampai ratusan tahun. Saya tidak iri bahwa mereka berumur panjang tapi karena mereka cenderung memutuskan menjalani hidup yang lama itu dengan orang yang mereka cintai. Vampire memiliki perasaan yang mendalam dan sungguh-sungguh. Perasaan mereka terfokus dan magnified, jadi kalau mereka mencintai maka pengertian cintanya menjadi berlipat-lipat dari pengertian cinta yang normal. Kecenderungan itu lebih kuat dari hasrat mereka akan darah sehingga sepertinya mereka mau-mau saja membuat kekacauan asalkan pada akhirnya mereka tetap bersama dengan orang yang mereka cintai. Itu sungguh membuat saya iri. Saya orang yang tidak suka kekacauan atau membuat kekacauan, terutama karena saya percaya harus ada setidaknya satu orang yang harus membereskan akibat kekacauan itu dan saya terlalu malas untuk melakukannya makanya jika saya disuruh memilih antara menimbulkan kekacauan atau perpisahan maka saya biasanya memilih perpisahan saja. Terdengar dingin mungkin. Tapi sayangnya saya memang orang seperti itu. Tentu saja saya memiliki beberapa orang yang saya berharap akan menghabiskan waktu di dalam keabadian bersama mereka. Saya orang yang punya kecenderungan mencintai orang lain unconditionally, dengan cara yang akan mengingatkan anda pada seekor binatang peliharaan mencintai majikannya, tapi di sisi lain saya juga punya kebiasaan buruk, jika orang yang saya cintai melakukan hal-hal buruk yang bertentangan dengan my moral compass maka cinta saya tanpa bisa saya cegah akan memudar, kemudian saya dan orang itu kalau dibuat dalam drama akan berdiri berhadapan dan berkata ‘I can’t bent my moral for love. So, let’s our existance don’t exist for each other’s anymore’ seperti itu.

Ketika saya melihat adegan Elena berkata ‘I am not sorry that I am in love with you’ atau ketika saya melihat foto ini saya mengatupkan kedua tangan dan berseru ‘so sweettttt’ bukan karena apa-apa melainkan karena saya tahu betapa susahnya mengatakan hal semacam itu. Bagi saya itu suatu hal yang hanya berada satu titik saja sebelum ‘mustahil’. Mencintai manusia selalu merupakan kekecewaan cepat atau lambat. Itu yang saya yakini. Sehingga di mata saya adegan itu benar-benar adalah drama. Sebuah drama yang indah tentu saja. And I am not sorry that I like it hehehe....


Selasa, 11 Maret 2014

Sonnet XXV by Pablo Neruda

Saya suka sekali puisi-puisinya Neruda. Selalu menahan nafas setiap kali membacanya. Saya suka puisi yang menarik-narik hati saya dalam kehampaan. Saya menyukai rasa sakit itu :p

Before I loved you, love, nothing was my own:
I wavered through the streets, among
Objects:
Nothing mattered or had a name:
The world was made of air, which waited.

I knew rooms full of ashes,
Tunnels where the moon lived,
Rough warehouses that growled 'get lost',
Questions that insisted in the sand.

Everything was empty, dead, mute,
Fallen abandoned, and decayed:
Inconceivably alien, it all

Belonged to someone else - to no one:
Till your beauty and your poverty
Filled the autumn plentiful with gifts.

Senin, 10 Maret 2014

The Value of Memories



Beberapa hari terakhir saya sedih sekali.

Ini berkaitan dengan ponsel saya. Bukan karena ponsel saya rusak atau bagaimana. Ponsel saya kelihatan masih sama seperti ketika pertama saya memilikinya. Hanya saja charger-nya entah kenapa pangkal kabelnya patah sehingga sulit digunakan untuk mengisi baterainya. Parahnya, charger seperti itu tidak lagi dijual di pasaran, setidaknya saya telah mencoba membeli di beberapa tempat tapi tidak berhasil menemukannya. Hanya tinggal menunggu waktu sampai baterai ponsel saya habis dan tidak bisa digunakan lagi. Inilah yang membuat saya menangis beberapa hari ini.

Beberapa tahun lalu saya bercakap-cakap dengan seorang teman. Membicarakan macam-macam hal sampai pada topik mengenai ponsel ini. Saya bilang saya sedang membaca tentang ponsel ini di internet.  Tidak disangka beberapa hari kemudian saya menerima paket berisi ponsel ini darinya. Saya senang sekali. Padahal saya tidak sedang meminta hadiah.

Saya memberi nama ponsel ini Noir karena warnanya hitam. Saya memasang nomor saya di ponsel ini dan menggunakannya untuk melakukan banyak hal. Kamera di ponsel ini jauh lebih bagus dari kamera ponsel yang saya tahu. Or at least I think so

Memikirkan bahwa suatu saat saya harus membuang benda yang saya sayangi membuat saya patah hati. Saya benci kemajuan teknologi. Saya tidak menyangka saya akan menemui masa dimana benda-benda elektronik berganti model setiap hari sehingga saya kesulitan menemukan suku cadangnya di toko.

Saya barangkali dapat membeli benda yang serupa tapi ponsel saya ini memiliki nilai kenangan tertentu yang membuatnya jauh lebih berharga dari benda lain yang serupa. Saya pikir saya bukan jenis orang yang dapat dengan mudah mengganti satu hal dengan hal lain. Saya biasa memperlakukan benda-benda yang saya miliki seperti saya memperlakukan manusia. Saya memberinya nama dan mengingat-ingat jasanya. Membuangnya selalu menjadi peristiwa yang menyedihkan bagi saya.

Kamis, 16 Januari 2014

IF I DIE YOUNG






If I die young bury me in satin

Lay me down on a bed of roses

Sink me in the river at dawn

Send me away with the words of a love song




Ini adalah sebuah lagu yang kalau dinyanyikan dengan kualitas vokal yang bagus saya menyukainya.

Dulu saya memiliki seorang teman. Dia adalah satu di antara beberapa orang yang membuat saya bisa accept death as it is. Saya ingat dulu saya pernah bermimpi meninggal. Jasad saya ditempatkan dalam sebuah peti dengan bagian atas terbuat dari kaca. Jasad saya itu dihanyutkan di sebuah sungai yang ditepinya ditumbuhi pohon-pohon willow dan pohon-pohon cherry yang kebetulan sedang bermekaran. Kelopak-kelopak bunga cherry yang berwarna merah muda pucat berjatuhan seperti hujan dan teman saya itu berdiri di satu sisi sungai melepas kepargian saya. Mati terasa tidak beda dengan tidur yang panjang dan saya merasa berbahagia ketika mengalaminya. Itu adalah mimpi yang sangat romantis menurut saya. Ketika saya menceritakannya kepada teman saya itu dia hanya menanggapi dengan tertawa. Dia selalu membayangkan mati di dalam medan perang, entah perang yang mana yang dia maksud, sehingga lupa membayangkan bagaimana orang akan mengubur jasadnya. Sementara saya selalu membayangkan bagaimana saya dimakamkan tetapi lupa berkhayal dengan cara apa saya akan mati.

Kalau bicara soal keinginan, saya ingin mati muda, ketika saya masih segar bugar sehingga tidak perlu membuat resah siapapun.

Ketika kecil saya berpikir usia 30an itu ‘tua bangka’ memakai riasan tebal dan perhiasan gemerincing, tinggal di perumahan yang bangunan rumahnya sama persis dengan puluhan rumah lain di sekitarnya dengan kegiatan sosial bersama ibu-ibu yang berpakaian dan bicara dengan gaya yang sama seperti boneka buatan pabrik. Saya pikir itu sangat mengerikan. Saya sama sekali tidak bisa membayangkan saya menjadi seperti itu. Saya selalu merasa sudah akan masuk ke dalam kubur jauh sebelum berusia 30 tahun.

Lucunya, meskipun saya tidak memiliki satu pun ciri untuk apa yang saya sebut boneka buatan pabrik itu, tapi usia 30 itu telah saya lewati beberapa tahun yang lalu. Apakah saya merasa kecewa? Saya tidak tahu. Yang saya tahu saya tidak pernah merencanakan untuk hidup lama tapi ternyata saya masih terus hidup dari hari ke hari. Masalah datang silih berganti. Saya memecahkannya satu per satu. Dan tahu-tahu satu hari telah berlalu dan datang hari berikutnya. Begitulah seterusnya.

Saya merasa hidup pada akhirnya bukanlah masalah keinginan, malah sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu.

Setiap orang seperti jam dengan pemutar pegas di punggungnya. Tuhan memutar pegas itu sesuai kehendak-Nya. Masing-masing orang dengan jumlah putaran yang berbeda. Ada yang pemutar pegasnya diputar banyak sekali hingga jam kehidupannya berdetak untuk waktu yang lama. Ada yang diputar cuma sebentar sehingga berhenti dengan cepat.

Rabu, 15 Januari 2014

ARE YOU RELUCTANT TO HAVE ME, SIR?




Itu adalah pertanyaan yang diucapkan Jane Eyre pada St John ketika dia meminta pria itu untuk membagi uang warisannya -yang baru dia terima dari seorang pamannya yang kaya raya- menjadi empat bagian agar dia dan pria itu beserta kedua saudarinya dapat hidup sebagai sebuah keluarga. Jane seorang anak yatim piatu. Adalah sebuah kegembiraan besar baginya untuk memiliki keluarga. St John –sebagaimana umumnya pria- mengutamakan harga diri sehingga pada awalnya merasa enggan. Uang warisan yang diterima Jane sangat besar dan dengan uang itu Jane dapat menjalani hidup sebagai wanita bebas yang tidak perlu merisaukan bagaimana harus mengurus dirinya sendiri –sebelumnya Jane mencari nafkah dengan menjadi seorang governess-. Jane meyakinkannya bahwa dia telah sendirian sepanjang hidupnya dan merasa senang melakukan itu. Ketika St John masih ragu-ragu Jane mengucapkan pertanyaan itu. St John kemudian menjawab “No, Miss Eyre, on the contrary.”
Itu adalah salah satu adegan yang sangat menyentuh hati saya dalam novel Jane Eyre-nya Charlotte Bronte.

Saya memiliki kecenderungan untuk menjadikan orang-orang yang saya sayangi sebagai keluarga. Saya lahir dan dibesarkan di tempat dan pada masa dimana semua orang berada dalam ikatan keluarga yang erat. Jika saya bermain terlalu jauh dari rumah dan sedang merasa haus saya dapat pergi ke rumah terdekat dan meminta minum. Penghuni rumah itu akan memberi saya dan teman-teman saya air minum, dan kadang-kadang makanan kalau kebetulan ada, dan itu dilakukan dengan spontan tanpa suatu itikad tertentu, nyaris semacam gerakan refleks. Membuat saya percaya ada kasih sayang yang tulus antara sesama manusia di dunia ini.

Tanpa saya sadari saya barangkali bermaksud membekukan waktu dimana dunia masih seperti ketika itu dan bertindak dengan cara yang sama. Seringkali saya lupa betapa utopisnya ide itu dan mematahkan hati saya sendiri setiap kali saya mendapati dunia telah jauh berubah. Karena orang telah berubah menjadi begitu mudah merasa terancam, hal-hal yang dilakukan secara spontan dan tanpa itikad apapun kecuali bahwa itu hal yang baik untuk dilakukan akan dengan mudah dicurigai sebagai ancaman, atau strategi untuk meraih sesuatu di masa yang akan datang. Saya seorang yang sangat impulsif, yang merasakan dan melakukan apapun dengan kesungguhan hati yang dalam. Jika saya melakukannya dan mendapat kecurigaan itu dari orang lain –yang biasanya diperlihatkan dengan jelas- saya menyimpulkannya sebagai bentuk penolakan.

Saya mengalami beberapa penolakan yang menyakitkan dalam hidup saya.

Ketika saya berusia kira-kira dua belas atau tiga belas tahun, ada seorang anak yang pindah ke sekolah saya. Saya mendengar cerita bahwa dia dibuang oleh ibunya dan kemudian dirawat oleh seorang bibinya yang keadaan keuangannya cukup memprihatinkan. Saat itu saya belum mengerti benar apa artinya dibuang oleh orang tua atau kenapa seseorang melakukan itu terhadap anaknya, tapi saya merasa kasihan kepadanya. Setiap hari saya membawakannya jeruk yang sangat matang dari rumah – rumah saya ketika itu adalah gudang jeruk karena kakek saya membeli jeruk dari hampir semua petani di kecamatan kami. Saya bisa mendapatkan buah jeruk kapanpun saya mau – dan mengajaknya bermain bersama teman-teman saya. Suatu hari – entah karena apa- bibi anak itu membawa anak itu pulang. Saya lewat di kebun di dekat rumah anak itu dan mendengar bibinya menyuruh dia untuk tidak bermain dengan saya karena saya akan membuatnya ora cetho. Saya tidak ingat pernah melakukan hal yang salah dengannya sehingga itu membuat saya kaget. Saya tidak menceritakan hal itu pada siapapun tapi sejak hari itu saya berhenti bermain dengan dia. Saya belum tahu tentang membela diri atau berargumen tapi saya tahu seorang anak adalah milik keluarganya dan dia harus melakukan apapun yang disuruh karena saya sendiri seperti itu. Itulah pertama kali saya tahu betapapun baiknya hubungan saya dengan seseorang belum tentu orang itu atau orang lain menganggapnya sama baiknya.

Ketika saya berumur tiga puluh tiga saya – untuk pertama kalinya dalam hidup saya- ingin memasukkan diri saya ke dalam keluarga orang lain. Dan mereka menolaknya. Tentu saja mereka memiliki banyak alasan kenapa mereka menolaknya tapi dalam kekecewaan saya menemukan bahwa barangkali – yah, hanya barangkali- saya tidaklah sebaik yang saya kira. Saya bukanlah orang yang akan menarik-narik tangan orang lain sambil merengek “Am I not good enough for you? Please, don’t throw me away. I could be nice.” Itu mengerikan dan bukanlah hal yang mungkin terjadi kecuali orang-orang itu memiliki lingkaran halo di atas kepala mereka atau saya merubah diri saya menjadi orang yang sama sekali berbeda. Dua hal yang tidak akan terjadi. Saya tahu saya tidak good ataupun nice tapi rengekan semacam itu bahkan memikirkannya saja sudah sangat mengganggu saya.

Terlepas apakah saya berumur tiga belas tahun atau tiga puluh tiga tahun penolakan tidak pernah menjadi hal yang mudah bagi saya.

Ada yang bilang the painful rejection always comes from who you love the most sepertinya itu ada benarnya. Setiap penolakan mematahkan hati saya. Beberapa dapat sembuh setelah sekian lama dan beberapa tidak. Biasanya saya menangisinya dan memikirkannya sampai saya bosan kemudian pada suatu waktu saya berhenti dan membuat kesimpulan bahwa saya dan mereka bukan kindred spirit. Itu adalah hiburan yang sangat manjur.

Apakah luka akibat penolakan itu harus begitu menyakitkan sehingga membuat orang harus merasa takut terhadap penolakan? Itu masalah yang berbeda. Seseorang pernah berkata kalau saya mendapatkan apapun yang saya mau – tanpa menerima satu pun penolakan – saya mungkin akan merasa senang pada awalnya lalu dengan cepat akan menjadi bosan. Orang memerlukan satu atau dua penolakan dalam hidupnya, hal yang membuatnya memikirkan ulang kualitas dirinya dan memulai memperbaiki diri, untuk tumbuh dan berkembang. Jika saya mengajukan pertanyaan “Are you reluctant to have me, sir?” lalu selalu mendapat jawaban “No, dear, on the contrary, I love to have you.” Mungkin saya akan berpikir - dan yakin- bahwa semua orang adalah keluarga dan melewatkan satu pelajaran penting bahwa untuk menjadi keluarga orang harus memenuhi prasyarat khusus, yang mana hanya Tuhanlah yang bisa menyediakan prasyarat khusus itu. mengetahui bahwa sesuatu yang tak dapat kita lakukan adalah pekerjaan Tuhan bukankah itu terasa menentramkan hati?

Sabtu, 23 November 2013

THE FOUNTAIN OF YOUTH




Kebanyakan orang memiliki rencana masa depan. Umur 17tahun pergi dari rumah untuk kuliah, umur 21tahun lulus kuliah, umur 22tahun mendapat pekerjaan, umur 24tahun menikah, umur 26tahun pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan, umur 35tahun memiliki empat orang anak dan sebuah perusahaan yang berkembang.... seperti itu

Anehnya, saya tidak begitu. Jika ditanya akan seperti apa kau tiga tahun yang akan datang, saya tidak punya bayangan sama sekali. Bukan karena saya tidak melakukan apa-apa. Saya melakukan banyak hal setiap harinya. Tapi karena bagi saya waktu selalu berhenti pada sekarang. Saya melakukan segala sesuatu dengan semangat orang yang tidak akan hidup sampai besok pagi, dan ketika saya masih menemui esok pagi itu saya menganggapnya sebagai keberuntungan,mengulangi prinsip yang sama seperti hari kemarin dan biasanya tidak menyesali apapun.

Saya menyadari saya telah tumbuh dari bayi menjadi gadis lalu seorang wanita. yang sangat jarang saya sadari adalah fakta bahwa saya menua. Saya tidak tahu kenapa saya begitu. Mungkin jiwa saya telah berhenti tumbuh pada usia remaja.

Tidak ada satu makhluk atau benda apapun di dunia yang bisa lepas dari gerusan waktu. Beautiful things only grow to a certain height, and then they fail and fade of, kata Fitzgerald. Menyedihkan tapi kebanyakan fakta memang begitu.

Mungkin itulah kenapa keabadian adalah khayalan paling populer yang dimiliki semua orang. Keabadian dianggap sebagai penyelesaian dari rasa sakit dan penderitaan akibat keterkaitan antara tubuh dan waktu.

Entah kenapa dalam berbagai kebudayaan keabadian dicapai setelah memakan atau meminum sesuatu. Mungkin karena anggapan bahwa tubuh yang selamat dari gerusan waktu adalah ciri mutlak keabadian. Dalam budaya Jawa ada pelem pertangga jiwa dan jambu dipa nirmala yang apabila dimakan seseorang akan berhenti marasa haus dan lapar selama-lamanya. Di Yunani ada nectar dan ambrosia yang jika dimakan manusia biasa dia akan selamat dari kematian. Di bagian Eropa yang lain ada mitos lain yang berhubungan dengan kehidupan abadi yaitu the fountain of youth.

Saya suka sekali sumber air dan sering melamunkan hal-hal indah jika berada di dekatnya, meskipun selama hidup saya baru beberapa kali mengunjungi sumber air. Saya menganggapnya romantis.

Dalam catatan sejarah dapat ditemukan kisah mengenai pelaut Spanyol yang mencari dan menemukan the fountain of youth walaupun kebenarannya masih diperdebatkan para ahli sejarah.

Dikisahkan meminum air dari sumber air itu akan menjadikan seseorang kembali muda. Bagaimana tekniknya itu yang agak mengkhawatirkan. Bagaimana jika menjadi muda kembali itu memerlukan ritual yang mengerikan, bagaimanapun jika sebuah aturan dilanggar, alam, dengan berbagai cara, akan mencari bentuk keseimbangan lain, memunculkan sesuatu yang buruk dan jahat misalnya.

Kalau saya, yang saya khawatirkan, jika meminumnya saya kembali muda dan menjadi sama bodohnya seperti saya yang dulu. Saya masih bodoh sekarang tapi tentu saja tidak separah saya yang dulu. Saya pikir jika ada seseorang yang memberi saya guci berisi air dari the fountain of youth saya tidak akan seperti Alice yang makan dan minum sesuatu hanya karena terdapat tulisan eat it dan drink it. Saya mungkin akan meragukannya setiap waktu dan diam-diam memeriksa apa kandungan air itu. Saya menyukai diri saya yang sekarang dan menertawakan orang-orang yang bermimpi mendapat keabadian. Dunia bukanlah tempat yang menarik untuk hidup selamanya. Kalau mengutip kata-kata Jack Sparrow ( well, I am a pirate’s fans ) the world is still the same. There’s just less in it. Beberapa hal yang saya cintai telah hilang dari dunia ini dan sebenarnya dunia telah berubah menjadi membosankan jauh lebih cepat dari yang saya duga.

Tapi ada saat-saat tertentu ketika saya benar-benar ingin meminum air dari the fountain of youth. Beberapa waktu lalu seorang anak asuh saya mengirimi saya foto, dia berdiri dengan gagahnya di depan papan nama universitasnya dengan jas almamater biru tuanya. Saya tiba-tiba merasa tua. Beberapa tahun yang lalu saya dengan jas almamater serupa mengajar di kelasnya sementara dia masih anak kecil yang selalu membawa kotak krayon di dalam tas rangselnya. Dalam suratnya dia mengatakan dia telah diterima di fakultas yang dia sukai, tingginya sekarang seratus tujuh puluh dua sentimeter dan akan mendapat nilai A untuk semua mata kuliah pertama yang dia ambil. ‘Nanti kau harus memberi aku hadiah’, katanya. Entah kenapa begitu masuk SMA dia berhenti memanggil saya ‘Bu’. Disuruh memanggil ‘Mbak’ pun dia menolak. Barangkali karena dia merasa tubuhnya telah jauh lebih tinggi dan lebih besar dari saya. Sebenarnya saya tidak memiliki masalah dengan memperhatikan orang-orang yang lebih muda usianya. Saya menghormati dunia mereka dan berharap mereka juga melakukan hal yang sebaliknya. Sebagai orang dewasa saya biasanya memperlakukan mereka sebagai obyek kasih sayang atau sesuatu untuk dijaga. Tapi melihat kulit mereka yang cemerlang dan energi yang berlimpah dari badan mereka saya merasa agak terganggu. Mungkin iri lebih tepatnya.

Saya juga ingin meminum air itu setiap saya menemui hal-hal menarik untuk dipelajari seperti misalnya arkeologi atau saat saya ingin menciptakan sebuah karya seni yang detail dan rumit pengerjaannya. Menyadari bahwa waktu hidup saya terbatas dan saya harus melakukan pilihan-pilihan, yang paling penting di antara banyak hal yang penting terkadang membuat saya sangat kesal dan merupakan satu-satunya fakta tak terbantahkan yang bisa membuat orang yang paling bersemangat di dunia pun kehilangan semangatnya dalam waktu sedetik.

Kalau benar-benar dicari mungkin saja the fountain of youth itu benar-benar ada. Barangkali sumber air murni yang mengandung sejumlah mineral yang bermanfaat bagi tubuh. Tapi mungkin saja itu hanyalah khayalan dari orang-orang yang sama putus asanya terhadap waktu sama seperti saya.

Rabu, 20 November 2013

A MEAN OF SURVIVAL

Barangkali ini terdengar agak aneh tapi saya merasa turut berbahagia jika teman-teman saya, terutama sekali yang dari Indonesia, tidak menghubungi saya. Kenapa? Karena biasanya mereka hanya menghubungi saya kalau sedang terlibat masalah - ‘biasanya’ disini sangat seringnya sampai-sampai saya menggantinya tanpa sadar dengan ‘selalu’- Tidak menghubungi berarti mereka sedang baik-baik saja.

Hampir semua ‘teman’ seperti itu di jaman sekarang ini. Kecuali beberapa teman yang istimewa yang mencintai untuk tujuan yang lebih mulia dari sekedar pemenuhan kebutuhan.

Saya bukannya sedang mengomel. Saya dapat memahami kenapa orang melakukannya. Jaman sekarang dalam hubungan antar manusia kepentingan selalu berdiri di antara seseorang dengan orang lainnya. Orang-orang yang sangat ingin kepentingannya tercapai biasanya menjadi sangat sibuk menyusun berbagai macam strategi untuk mendekatkannya pada kepentingannya itu. Dia akan menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya, atau yang dia kira dimilikinya, untuk meraihnya. Salah satu potensi itu adalah teman.

Kita harus mengakui ada beberapa ( atau banyak lebih tepatnya ) orang yang menjalin hubungan baik dengan orang lain bukan karena bermuamalah dengan baik dengan sesama manusia itu adalah hal yang seharusnya dilakukan semua orang, tetapi karena menganggapnya sebagai investasi yang menguntungkan. Orang jenis ini biasanya berpikir ‘tidak usah membuat masalah dengannya sekarang siapa tahu aku akan membutuhkannya nanti’. Mereka menggolongkan teman berdasarkan ‘masalah’ yang mungkin akan mereka hadapi karena prinsip ‘siapa tahu’ ini dan begitu sebuah masalah muncul daftar nama teman yang berada dalam golongan itu akan muncul di benak mereka secara otomatis sebagai a chance of problem solving. Orang seperti ini dalam keadaan kritis akan selalu mundur diam-diam ke zona aman. Bahkan ketika melihat seseorang berbuat salah atau ketidakadilan terjadi akan sering kita lihat orang jenis ini memilih diam saja karena merasa khawatir di masa depan mereka akan menuai ‘balas dendam’ jika mengambil tindakan melawan kesalahan atau ketidakadilan itu. Dalam benak mereka kosa kata ‘pengecut’ telah berganti dengan ‘hidup secara cerdas’.

Bagi orang-orang semacam itu a friend is a mean of survival, sesuatu yang membantu mereka mempertahankan hidup. Semua orang mereka nilai berdasarkan standar ini. Jika tidak bisa menunjang keberlangsungan hidup mereka maka orang lain itu bukanlah apa-apa bagi mereka.

Saya mengenal beberapa orang yang seperti itu, dan walaupun saya memandang hidup dengan standar kasih sayang, saya biasanya membiarkan mereka tahu kalau cara pandang mereka itu membuat saya merasa kasihan. Setua ini saya belajar bahwa ada dua cara paling mudah menghindari orang semacam ini yaitu pertama, dengan berbagai cara saya akan menyakinkannya bahwa saya bukanlah a mean of survival baginya. Saya akan membiarkannya terkena sedikit masalah dengan saya, dan karena orang jenis ini sangat cepat belajar dari pengalaman, dia akan menghindari saya setelahnya. Kedua, ini mungkin terdengar kejam tapi sangat manjur, orang jenis ini selalu merasa harus memiliki sesuatu sebagai leverage, sesuatu yang dapat mereka tukar dengan hal yang mereka inginkan. Jika saya dapat meyakinkan kalau leverage yang mereka miliki tidak berguna untuk saya, atau saya memiliki substitusi yang lebih baik, orang jenis ini biasanya akan menghindar dengan cepat. Tetapi jika tidak mau terlalu repot maka saya rasa cukup dengan menyatakan bahwa kita dan mereka tinggal di dunia yang sangat berbeda dan tidak ada satu pun alasan yang bisa ditemukan kenapa kita dan mereka harus terlibat urusan bersama-sama. Bukankah dunia ini luas? Dan ada bermilyar-milyar orang di dalamnya? Jika cinta, kasih sayang dan hubungan pertemanan adalah bagian dari free will maka tentunya kita bisa memilih obyeknya bukan?

Saya pribadi percaya cinta yang tulus adalah cinta yang tidak bertambah hanya karena seringnya bertemu, adanya pemberian atau kemanfaatan tertentu dan tidak akan berkurang hanya karena kurangnya pertemuan, tidak adanya pemberian atau kemanfaatan dari pihak yang satu terhadap pihak yang lainnya. Pendek kata, mencintai seseorang hanya karena dia ada sebagaimana dia adanya. Mungkin terdengar terlalu utopis tapi saya memiliki beberapa orang yang kami saling mencintai dengan cara demikian.

Sabtu, 04 Mei 2013

HEART






While most people think it’s our brain that controls our actions, it is our heart that gets the biggest work out.

It can make us do the craziest of things.

But it can also let us take a chance on new adventures.

Because when we open our heart we can explore a world of love, and be pleasantly surprised by the people already in our life.

But unfortunately, our hearts are very sensitive.

And when they’re broken, everything around us is shattered.

Jumat, 03 Mei 2013

CINCIN

Keluarga sering merasa jengkel karena saya tidak memakai perhiasan apapun akhir-akhir ini. Bagi mereka seorang wanita yang tidak memakai satu atau dua benda berkilauan itu seperti bocah gundul. Sesuatu yang tidak pantas. Padahal alasan saya tidak memakainya adalah sederhana saja. Lingkar jari saya entah bagaimana sangat kecil, bahkan cincin terkecil di pasaran (diameter 16mm) masih logo (kebesaran) kalau saya pakai.Entah berapa kali saya hampir menghilangkan cincin saya saat mandi (dimana tangan menjadi licin karena sabun). Saya juga benci mendengar suara jedak jedog gelang membentur meja ketika saya mengetik. Pekerjaan saya seringkali harus berurusan dengan tanah. Rasanya sayang kalau benda yang berharga menjadi tergores.

Tahun lalu saya membeli sebuah cincin dengan harga yang murah. Waktu itu rasanya saya memiliki alasan kuat untuk membeli dan mengenakannya. Cincin itu terbuat dari emas putih dengan hiasan batu emerald bulat dan ada 12 buah berlian kecil mengelilinginya. Saya memesannya dengan permintaan khusus agar diameternya dibuat sedikit lebih kecil dari 16 mm. Pengrajinnya sampai berpikir yang akan mengenakannya adalah anak kecil.



Saya kehilangan alasan dan ketertarikan untuk memakai cincin itu beberapa waktu setelah cincin itu jadi. Saya pun hanya menyimpannya di dalam kotak dan berharap dapat melupakannya, mengingat cincin seperti itu tidak cukup berharga untuk masuk ke dalam kotak deposit bank atau brankas keluarga.

Beberapa hari lalu saya melihatnya ketika membereskan barang. Saya memakainya dan saya menyadari betapa modelnya sangat kuno dan membosankan. Saya senang saya bukan vampire versi-nya LJ. Smith dan cincin itu bukan daylight ring saya sehingga saya tidak perlu memakainya sampai saya mati.

Saya, yang selalu percaya pada konsep crime and punishment, berjanji akan memakai cincin itu hanya sampai saya merasa hukuman saya (karena telah memilih cincin yang begitu membosankan) sudah berakhir.

Rabu, 25 Juli 2012

SAYA DAN HANBOK


Beberapa waktu lalu saya mendapat undangan menghadiri resepsi pernikahan dari seorang kerabat dari teman saya di pulau Olango, Philiphina. Saya tidak punya gaun formal. Untuk menghadiri acara-acara resmi saya biasanya memakai baju tradisional. Saya membawa kemana-mana beberapa baju tradisional just in case saya diundang menghadiri acara penting. Kebaya untuk menyatakan bahwa I’m Indonesian, gaun Hongaria penuh sulaman hadiah dari seorang teman yang sudah meninggal dan hanbok kiriman dari teman SMP saya yang menikah dengan orang Korea dan menetap di Seoul.

Berhubung lengan kebaya saya terkena noda saos dan belum saya bawa ke laundry sementara gaun Hongaria sudah sering saya pakai maka hari itu saya memutuskan memakai hanbok.

Hanbok adalah baju tradisional Korea, sebenarnya mengacu pada era Josheon. Hanbok untuk wanita terdiri dari tiga bagian: sokchima, chima dan jeogori. Sokchima adalah gaun yang dipakai untuk dalaman. Biasanya berwarna putih. Terbuat dari kain sutra atau katun yang lembut. Beberapa sokchima dilapisi dengan kain tulle supaya mengembang. Chima adalah rok. Berupa kain lebar yang disangkutkan di bahu dan dipakai dengan cara dililitkan dan diikat dengan simpul di atas dada. Chima biasanya terbuat dari sutra penuh sulaman berwarna-warni atau polos. Jeogori adalah baju atasan. Modelnya ada dua macam. Yang panjang menutup perut dan yang pendek menutup dada.

Hanbok milik saya terbuat dari sutra berwarna biru safir. Pada jaman dulu bahan dari sutra hanya boleh dipakai oleh kaum bangsawan. Saya sebenarnya tidak begitu menyukai wana biru tapi karena saya beberapa kali memakai baju berwarna biru teman saya jadi menganggap saya menyukai warna itu. Jeogori milik saya memakai model kerajaan, panjangnya sampai menutupi perut, terbuat dari sutra korea penuh sulaman bunga dari benang berwarna perak dengan beberapa hiasan tradisional. Pada bagian leher ada sulaman bunga-bunga bulat berwarna perak. Sokchima-nya memiliki empat lapisan kain tulle tetapi bagian paling dalam adalah sutra ringan yang sangat lembut dan nyaman di kulit.

Saya baru pertama kali memakai hanbok itu untuk menghadiri resepsi pernikahan. Itu membuat saya berdebar-debar. Biasanya hanbok hanya saya pakai untuk acara-acara tertentu dimana orang hanya datang, duduk dengan manis lalu pulang. Di sebuah resepsi pernikahan orang-orang berlalu lalang atau bergerombol berdekatan dalam ruangan yang sama. Ada banyak perabotan yang berfungsi dekoratif sehingga orang harus menghindarinya. Saya menghitung-hitung lingkaran rok saya sekitar 80-90cm sehingga setidaknya saya harus menjaga jarak dengan orang-orang tidak lebih dekat dari satu meter. Yang saya khawatirkan adalah seseorang atau saya sendiri menginjak ujung rok saya dan membuatnya robek atau lepas, walau itu sangat mustahil. Hari itu saya hanya makan sekerat daging angsa karena khawatir saya akan merusak baju saya kalau saya mengambil makanan yang banyak. Beberapa teman wanita memegang baju saya, bertanya ini itu dan mengagumi sulamannya yang indah.

Hari itu secara garis besar menyenangkan. Saya berkenalan dengan beberapa teman baru dan saya sempat difoto sekali atau dua kali. Tapi sejujurnya saya senang acara itu cepat berakhir . Bukan hanya karena sutra itu sama sekali bukan pakaian untuk bersantai, ikatan chima-nya lumayan menyesakkan dada walau tidak separah kimono tapi juga karena saya agak terganggu dengan hiasan-hiasan di hanbok saya. Dalam tata busana era Josheon, hanbok saya disebut sorae dangui, hanbok dari sutra dengan sulaman-sulaman dari benang perak, jenis baju ini hanya dipakai oleh para selir raja.

Membayangkan saya mengumumkan diri sebagai selir seseorang –dengan memakai sorae dangui- entah kenapa membuat hati saya tidak nyaman.

Minggu, 15 Juli 2012

POACHED EGG

Di antara semua 'ketrampilan khas wanita' yang harus saya kuasai untuk memenuhi 'standar kewanitaan' kemampuan memasak adalah yang paling buruk. Ungkapan 'rawon rasa soto' bukanlah hal yang mustahil apabila saya yang memasaknya. Semua anggota keluarga saya tahu kalau memakan masakan saya memerlukan keberanian.

Belakangan saya tertarik untuk memperbaiki kemampuan itu. Saya suka makan. Saya dapat seharian memikirkan makanan saja tanpa merasa kalau itu hal yang agak tidak baik. Memasak makanan saya sendiri adalah salah satu cara yang masuk akal untuk meminimalisir kerepotan orang lain -orang-orang yang dalam hidupnya harus mengurus saya- akibat kegemaran saya itu.

Tadi malam saya berangkat tidur dengan pikiran bahwa saya akan sarapan keesokan hari dengan beberapa butir telur. Saya suka telur. Suka sekali malah. Semua masakan yang ada telurnya -yang kelihatan telurnya maksud saya- pasti saya suka. Telur dadar, telur orak-arik, telur rebus semuanya saya suka.

Pagi ini saya ingin membuat poached egg. Saya tidak tahu apa padanan kata dalam bahasa Indonesianya. Telur rebus tanpa kulit mungkin.

Saya sering melihat Katherine membuat poached egg. Air direbus di dalam panci. Diberi sedikit cuka, garam dan merica. Telur dipecahkan dan dimasukkan ke dalam air yang mendidih itu lalu sebentar kemudian diangkat. Sudah begitu saja. Sangat mudah.

Tapi melihat dan melakukan adalah hal yang sangat berbeda.

Pertama, menentukan sebenarnya air mendidih itu tandanya apa. Apakah air mengeluarkan gelembung-gelembung bulat kecil di dasar panci atau sampai air bergejolak di bagian tengah? Bingung. Kata Katherine, it's simmering, not boiling. Kedua, memecahkan telur sendiri adalah sebuah masalah. Paling jijik melihat pecahan telur mengandung potongan kulitnya. Ketika telur sudah dipecahkan dan meluncur ke dalam air lalu saya mengaduk airnya ternyata airnya berubah menjadi penuh serabut-serabut kecil berwarna putih dan kuning. Disgusting. Ketiga, seperti apa telur yang sudah matang. Saya tahu telur harus dimasak selama dua setengah menit -saya menyalakan stopwatch di hp- tapi begitu waktunya tiba saya bahkan bingung dimana letak sudip.

Sungguh, memerlukan banyak telur - saya mengulangi prosesnya sampai tiga kali- untuk bisa membuat poached egg seperti yang saya inginkan.





Minggu, 15 April 2012

LAGU

Akhir-akhir ini saya menyukai sebuah lagu. Saya tidak tahu apa judulnya. Liriknya adalah seperti ini:

Nadyan digawe kuciwa...
nanging ati malah saya tresna.
Awit aku wis rumangsa...
ora banda sarta ora rupa.
Wirangku setengah mati...
ngasih-asih datan tinambuhi.
Kairing adrenging ati..
meksa wurung penggayuhku iki.
Roning muda,dhuh kesuma..
pamupuse mung kudu narima.
Gedhang rambat sak upami...
aku lila tumekaning pati.
Abote wong manding tresna...
ra kuwawa rasa kang sinangga.
Siang ratri angelambra...
aduh nyawa luwung kasirnakna.


Apa ada yang tahu apa judulnya?

Rabu, 28 April 2010

PERMEN


Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kiriman sekantung permen. Permen buatan sendiri, yang dipotong persegi dan dibungkus dengan kertas minyak. Seperti permen yang saya makan sewaktu kecil. Saat membuka bungkusannya saya mungkin bertingkah seperti seorang anak kecil.

Saya suka sekali permen. Saya selalu membawa kantung kecil untuk tempat permen di dalam tas saya. Walaupun sewaktu kecil selalu dinasehati untuk berhati-hati terhadap orang asing yang memberi makanan manis tapi pada kenyataannya sewaktu saya kecil eyang saya selalu membawa permen di kantungnya saat pulang dari pasar sehingga ada pikiran di kepala saya bahwa orang yang membawa permen sama sekali tidak berbahaya.

Sewaktu pergi ke Nice, saya melihat orang membuat permen. Sebuah toko kecil yang katanya telah ada sejak tahun 1910-an. Di bagian depan toko ada puluhan toples berjajar berisi aneka macam permen. Di bagian belakang toko ada dapur untuk membuat permen. Saya melihat bagaimana batang-batang permen di potong dan didinginkan di atas marmer. Permen-permen itu dibuat dengan cara tradisional tanpa tambahan bahan kimia, dan semua permen itu keras. Saya sangat suka permen keras yang memerlukan waktu lama untuk menghabiskannya. Saya keluar dari toko itu*dengan du kantung permen rasa buah-uahan. Dan untuk waktu yang lama saya mengkhayalkan memiliki pabrik permen sendiri.

Beberapa kali saya menjalin persahabatan dengan orang yang sebelumnya tidak saya kenal berawal dari permen. Duduk bersama, saling berbagi permen, mengobrol lalu orang asing pun tiba-tiba menjadi teman.
Ketika pesaan saya sedang tidak enak, resah atau putus asa, seperti ketika masih harus berjalan jauh padahal badan sudah lelah, ketika tugas-tugas menumpuk tapi tampaknya waktu berjalan sangat cepat atau ada sesuatu yang berjalan tidak seperti yang diharapkan, makan permen membuat saya bisa memikirkan hal-hal yang indah.

Dalam permen barangkali tidak ada hal lain selain zat gula dan sedikit rasa buah-buahan tapi permen tidak pernah dibuat untuk tujuan yang selain untuk menggembirakan hati. Permen adalah nutrisi untuk hati.

Jumat, 22 Januari 2010

Senin, 12 Januari 2009

KETIKA SAYA "MEREMEHKAN" PEKERJAAN PEREMPUAN

Katherine Webler adalah wanita berdarah campuran Jerman dan Rumania. Selama dua tahun ini dia merawat saya. Saya tidak bisa dipercaya kalau harus merawat diri saya sendiri. Itu kata orang terkasih saya. Apa alasannya saya tidak begitu jelas.

Katie pintar mengurus rumah. Dia dapat menjaga buku-buku saya dari debu dan makhluk kecil yang suka tinggal di dalamnya, sesuatu yang tidak bisa saya lakukan tanpa mengomel. Masakannya lumayan enak. Goulash buatannya bisa menimbulkan reaksi adiktif alias bikin ketagihan. Sifatnya yang menonjol adalah tidak suka ikut campur urusan orang.

Salah satu kebiasaan Katie yang tidak bisa saya mengerti hingga sekarang adalah menjahit kain perca. Sementara saya menghabiskan waktu luang dengan berkeliaran kesana kemari dengan kamera saya, Katie akan duduk di dekat jendela dan mengerjakan jahitannya. Potongan-potongan kain warna warni dia simpan di sebuah kantung, semacam tas dari kain belacu, sungguh mengherankan bagaimana cara dia menghafal potongan-potongan kain yang dia simpan. Saya curiga dia bahkan hafal jumlahnya. Kain-kain itu dia beli dari pasar, kira-kira 15 menit dari rumah naik sepeda, kadang-kadang dia dapat setelah menawar habis-habisan. Di pasar dia terkenal sebagai "wanita berbadan subur yang menawar harga paling murah untuk mendapatkan barang terbaik" he he he...

Sebenarnya saya senang mengerjakan macam-macam pekerjaan khas wanita seperti memasak, menjahit, menyulam dan lain-lain. Tapi saya mengerjakannya karena saya suka bukan karena saya tidak ada pekerjaan lain. Jadi kalau dalam satu waktu saya disuruh memilih antara menulis, jalan-jalan di luar sambil memotret atau pekerjaan khas wanita maka saya akan memilih meninggalkan pekerjaan khas wanita itu.

Saya sempat memandang pekerjaan yang dilakukan Katie dengan kain-kain warna warni itu adalah pekerjaan yang mudah, jenis pekerjaan yang lebih memerlukan waktu dan kemauan daripada memakai kecerdasan.

Suatu hari saya menemukan bahwa saya salah besar.

Hari itu cuaca buruk, menghalangi siapapun untuk keluar rumah. kebetulan saya juga sedang flu. Saya sudah minum sup herbal yang katanya manjur untuk flu tapi saya masih pilek juga meski sudah berkurang parahnya.

Saya duduk di sofa dan melihat Katie menjahit. Kelihatannya Katie mau membuat selimut dengan ukuran kira-kira 90 x 80 inci, dari kain katun warna krem, kain satin merah dan hijau dan kain lain yang saya tidak tahu jenisnya berwarna kuning dan cokelat. Melihat saya memandanginya Katie berkata, "Kenapa tidak mencoba membuatnya? Ini manjur untuk menghilangkan stres." Sebenarnya waktu itu dalam hati saya mengomel, persis seperti omelan Anne dalam novel Anne of Green Gables: I do not like patchwork. I think some kinds of sewing ould be nice, but there's no scope for imagination in patchwork. It's just one little seam after another and you never seem to be getting anywhere.

Tapi entah karena provokasi Katie atau karena saya memang ingin membuktikan bahwa pekerjaan yang tidak memakai kecerdasan itu benar, maka saya pun mencoba membuatnya. Kebetulan saya punya banyak kain sisa menjahit. Saya memilih kain satin warna merah anggur dan kain motif daun warna senada. Katie sedang mengejakan pola bunga-bunga di dalam keranjang. Saya kira dia akan mengajari saya membuat pola itu tapi katanya seharusnya saya membuat pola sederhana seperti log cabin. Itu membuat saya jengkel, saya cukup tahu teknik menjahit, dan log cabin itu kelihatan cuma seperti kotak-kotak yang disambung dan sama sekali tidak menarik. Lalu Katie menunjukkan macam-macam pola yang jelas mengacu pada pola untuk pemula. Saya memilih card trick. Pola itu sederhana dan mudah dan menghasilkan bentuk yang menarik. Polanya cuma terdiri dari dua buah segitiga siku-siku besar dan sebuah segitiga siku-siku kecil separo ukuran yang besar.

Untuk pertama saya membuat ukuran 30 x 30 inci, dengan menjahit pengulangannya ukurannya akan bertambah nantinya. Saya merasa yakin dapat menyelesaikannya dalam waktu kurang dari satu jam dengan dijahit tangan.

Ternyata membuatnya lumayan susah. Menyambungkan satu potongan kain dengan potongan kain yang lain ternyata memerlukan perhatian khusus. Saya merasa benar-benar menyesal telah meremehkan pekerjaan itu.

Saya baru menyadari kalau tidak ada satu pun dari pekerjaan wanita yang bisa disebut benar-benar mudah, betapapun itu terlihat sepele dan dapat dikerjakan sambil lalu. Pekerjaan wanita, meski itu cuma mengepel lantai atau membuat sup, selalu memerlukan ketekunan, rasa cinta dan tentu saja cita rasa seni.

Minggu, 14 Desember 2008

SEDIKIT NOSTALGIA, HEMINGWAY DAN KESENDIRIAN





Saya mendapatkan buku The Old Man And The Sea ketika saya masih kuliah semester satu di Malang.

Saya membelinya di pasar buku (baru dan bekas) di Jalan Majapahit. Orang menyebutnya Blok M. Tempat itu berada di sebuah jalan kecil, menurun, di bawah naungan pepohonan tua yang saking besar dan tingginya saya sampai kesulitan mengenali jenisnya. Pasar itu, kalau berbelok ke gang kecil kemudian melewati jembatan yang berada di atas sungai Brantas, akan terhubung dengan pasar burung yang menjual aneka hewan peliharaan dari burung sampai kelinci dan pasar bunga tempat macam-macam bunga dipajang dan dijual dengan harga murah. Orang menyebut tempat itu Splendid (dalam bahasa Belanda berarti indah)

Dulu saya suka berkeliaran di tempat itu satu atau dua kali seminggu. Biasanya bukan untuk tujuan yang jelas kecuali untuk cari inspirasi. Dari tempat kost saya di daerah Ketawanggedhe saya akan naik mikrolet GL atau LG, turun di Sarinah, berjalan sepanjang trotoar Jalan Basuki Rahmat lalu menyeberang ke Jalan Majapahit. Keluar masuk kios demi kios karena biasanya saya tidak jelas mau membeli buku apa jadi harus melihat-lihat dulu barangkali ada buku yang menarik. Buku-buku disana dijual murah dan banyak yang sudah tidak dijual lagi di toko buku sehingga seringkali saya merasa bangga saat melihat hasil perburuan saya sesampainya di kost. Di tempat yang sederhana itu tersimpan banyak harta karun. Di tempat itu pula awal percintaan saya dengan buku-bukunya Pramoedya Ananta Toer.

Setelah dari pasar buku biasanya saya akan berbelok ke pasar burung. Yang saya sukai adalah melihat-lihat ikan dan kura-kura. Seorang wanita harus punya hewan peliharaan karena itu menunjukkan kesehatan jiwanya. Saya tidak ingat dari mana saya dapat nasehat itu tapi saya percaya dan saya (anehnya) menyebarkan nasehat itu di depan kelas padahal saya tidak pernah sukses memelihara binatang. Pasar burung itu baunya tidak enak dan suasananya lumayan mengintimidasi. Tempat itu penuh laki-laki jarang ada wanita berkeliaran disana tapi memandangi ikan-ikan itu membuat saya bahagia.

Kalau pasar bunga jangan ditanya indah dan semarak warnanya. Baunya pun khas. Bau tanah tersiram air. Segar. Saya biasa berkeliling pasar, yang lokasinya seperti terassering karena berada di tepi sungai, dan di bagian paling bawah yang menjual bunga potong saya membeli seikat bunga mawar. Setelah itu saya pulang naik mikrolet AL. Di kamar saya akan menggantung bunga itu dalam posisi terbalik di dinding dekat jendela, memaksudkannya untuk menjadikannya potpourri, tapi hampir selalu tidak pernah jadi, kecuali satu kali pada musim kemarau, barangkali karena udara Malang terlalu lembab.

Belakangan saya dengar Blok M itu telah dipindah ke Jalan Wilis. Saya rasa segala macam pesonanya telah hilang bersama kepindahan itu.

Salah satu harta karun yang saya dapat dari perburuan itu adalah The Old Man And The Sea-nya Hemingway. Saya mendapatkannya dengan tidak sengaja saat saya gagal mencari bacaan berbahasa Jerman. Buku itu terselip begitu saja di antara novel-novel populer tidak bermutu dan majalah-majalah bekas seolah-olah itu bukan buku berharga. Saya membelinya dengan harga murah. Kondisinya bagus dan berbahasa Inggris.

Sebelumnya Hemingway yang saya kenal hanyalah artikel-artikel kecil di majalah-majalah yang menyebut namanya sebagai peraih Nobel dan orang yang mengatakan "Lapar adalah sebuah disiplin yang baik" yang saya setujui seratus persen. Setelah membacanya saya merasa mengenalnya dengan cara lebih baik.

The Old Man And The Sea bisa dibilang karya yang terhormat. Saya menganggapnya begitu. setidaknya saya tidak akan malu untuk membacakannya di depan kelas atau menghadiahkannya pada orang yang saya hormati. Tidak hanya karena Hemingway menggunakan kosa kata yang bisa diterima oleh norma kesopanan tetapi juga karena isinya mengandung nilai moral yang dalam.

Tokoh-tokoh dalam tulisan-tulisan Hemingwaykebanyakan adalah orang-orang yang "terpisah" dari dunia sekitarnya. Semacam gaya hidup solitaire yang tercipta karena keadaan. Barangkali itu karena pribadi Hemingway yang suka "berkeliaran" karena pekerjaannya sebagai jurnalis dan kesukaannya untuk "menjadi orang asing" karena sering berpindah tempat tinggal. Atau barangkali juga karena pengaruh politik pasca Perang Dunia II. Hemingway kelihatannya menganggap seseorang yang dapat mengatasi masalah dalam kesendiriannya maupun yang timbul akibat pola hidup solitaire itu sebagai sesuatu yang heroik.

Kesendirian dalam tahap tertentu kadangkala dapat merusak kewarasan seseorang, dapat membuatnya sulit membedakan antara emosi dan pikiran, merupakan kata lain dari inkonsistensi dan ketidakstabilan secara mental. Orang yang dalam kesendiriannya tetap bisa mengendalikan dirinya, dengan segala macam standar etika dan moral seperti apabila dia hidup bersama sebuah masyarakat dan eksis di dalamnya, pada saat tidak ada pihak lain selain dirinya yang berinteraksi dengannya, dalam keadaan yang memungkinkannya untuk bertindak semaunya sendiri dalam arti yang benar-benar harfiah, menurut saya pastilah orang yang mengagumkan.

Sabtu, 29 November 2008

SNOW



Saya membeli buku ini pada awal tahun ini. Saya ingat ketika itu bunga border carnation warna merah tua di depan rumah saya mekar untuk pertama kalinya.

Saya punya perasaan tertentu terhadap salju. Saya dapat mengatakan bahwa salju itu benar-benar sangat indah tetapi saya cenderung menjadi lemah di musim dingin jadi judul buku itu membuat saya merasa tidak enak hati. Namun karena beberapa alasan (yang menulis adalah Orhan Pamuk, beberapa teman saya yang mencintai sastra mengatakan bahwa buku itu sangat bagus dan saya merasa sudah begitu kelelahan membaca dan terus membaca ulang Beauty and Sadness karya Yasunari Kawabata) maka saya membelinya.

Saya merasakan perasaan yang tidak enak saat membacanya bahkan sejak bab pertama. Saya selalu merasakan perasaan yang tidak enak setiap kali membaca buku yang di kemudian saya cintai seperti misalnya buku-bukunya Pramoedya Ananta Toer atau Kawabata itu. Saya tidak selalu bisa dengan gamblang menjelaskan bagaimana sebenarnya perasaan yang tidak enak itu namun bisa saya katakan bahwa rasanya mirip dengan saat saya melihat ranting-ranting pohon yang berwarna gelap dengan latar belakang senja kemerahan di film Gone With The Wind.

Perasaan tidak enak itulah barangkali yang membuat saya tidak juga selesai membacanya bahkan sampai sekarang. Membaca buku ini saat musim dingin sungguh pilihan yang buruk tapi buku ini sangat indah. Sangat menyedihkan namun begitu indah. Seperti kata-kata Ka: "Were the streets empty because of the snow or were these frozen pavements always so desolate?"

Jumat, 28 November 2008

LOVE AND FRIENDSHIP


Love is like the wild rose-briar,

Friendship like the holly-tree

The holly is dark when the rose-briar blooms

But which will bloom most constantly?


The wild-rose briar is sweet in the spring,

Its summer blossoms scent the air;

Yet wait till winter comes again

And who will call the wild-briar fair?


Then scorn the silly rose-wreath now

And deck thee with the holly's sheen,

That, when December blights thy brow,

He may still leave thy garland green.


by Emily Bronte

Senin, 24 November 2008

THREE CUPS OF TEA



Dua hari ini saya merasa tidak enak badan. Semangat yang tinggi seharusnya menumbuhkan energi yang melimpah tapi tubuh saya selalu bereaksi secara aneh terhadap apa yang disebut semangat yang tinggi itu. Kadang saya berpikir tubuh adalah sebuah bukti yang paling nyata mengenai keterbatasan-keterbatasan yang saya miliki.

Beberapa hari lalu saya terdorong untuk membeli buku Three Cups of Tea karena seorang teman menyukainya. Dia seorang yang sopan dan manis (Entah kenapa pria Sunda yang saya kenal selalu sangat sopan dan manis. Mungkin karena mereka suka makan lalapan. Hubungane gek yo opo ngono lho) sebagaimana layaknya seorang ikhwan yang terpelajar. Dia seorang yang serius mengusahakan layanan kesehatan cuma-cuma untuk masyarakat kurang mampu.

Buku itu terbit sekitar tahun 2006 (di Amerika dan Eropa) sehingga sewaktu saya membelinya saya perlu mencari agak lama di toko buku. Three Cups of Tea buku yang lumayan bagus. Kisah nyata tentang seorang yang mengusahakan pendidikan bagi anak-anak miskin di pedalaman pegunungan Karakoram di Pakistan. Perjuangan yang berat karena tempat itu sulit dicapai. Bahan bangunan untuk sekolah bahkan harus dipikul berpuluh-puluh kilometer melewati lembah dan tebing yang terjal. Buku ini menceritakan apa yang disebut sebagai semangat yang tinggi itu. Saya pikir alangkah lebih bagusnya seandainya buku ini ditulis oleh seorang muslim agar penjelasan dan pemahamannya tentang beberapa aliran dalam Islam menjadi lebih benar.


Di bagian awal buku ini tertulis kira-kira seperti ini:
"Jika kamu disuguhi teh (di tempat kami) cangkir pertama berarti kau masih seorang yang asing, cangkir kedua berarti kau seorang teman yang dihormati, pada cangkir ketiga kau sudah menjadi keluarga (kami) Keluarga yang bersedia melakukan apa saja, bahkan mati (demi dirimu) "

Mengharukan.

Well, berapa cangkir teh yang sudah kita minum bersama-sama, teman-teman?

Senin, 17 November 2008

DID I MENTION THAT I LOVE YOU?


Saya sangat suka bercakap-cakap. Di dalam bis, di kampus, di jalan, di mana pun, selama memungkinkan untuk melakukannya, saya pasti akan mengajak siapapun di dekat saya untuk bercakap-cakap.


Bagi saya makanan yang lezat, teman yang setia dan obrolan yang cerdas adalah keindahan dunia, sesuatu yang menginspirasi dan menggairahkan.


Saya memperoleh banyak hal dari kegiatan bercakap-cakap itu. Biasanya sebuah persahabatan yang saya jalin dengan seseorang dimulai dari percakapan-percakapan itu.


Hal yang paling tidak saya sukai dalam sebuah percakapan, jika itu adalah sebuah percakapan yang menyenangkan, adalah ketika saya harus mengakhirinya.


Belakangan saya punya kebiasaan mengganti kalimat See you next time sebagai kalimat perpisahan dengan kalimat Did I mention that I love you?


Reaksi yang saya terima tentunya bermacam-macam. Jawaban yang paling sering saya dapatkan berkisar antara senyum atau mringis atau bertanya-tanya atau gaya cowboy. Kadang juga berupa ucapan I love you too, ini biasanya dari orang-orang tercinta. Kadang juga memicu diskusi panjang lebar. Seorang keponakan saya yang menjadi seniman di Jakarta mengatakan kalau kalimat itu lumayan "memanikkan" orang dan menganggap saya sedang "menggarap" dia (garap dalam bahasa pedalangan bisa berarti mencandai)


Saya sendiri tidak menganggap kata I love you sebagai kata yang harus diucapkan secara hati-hati. Kadang perasaan sayang di dalam hati saya terhadap seseorang begitu membuncah dan karena saya tidak mungkin melakukan hal konyol seperti berlari dan gabruk memeluknya, sementara saya merasa perlu menunjukkan rasa sayang itu maka saya pikir kata I love you dapat menjalankan fungsi itu dengan baik.


Sebenarnya saya tidak mengharapkan apa-apa dan tidak bermaksud apa-apa di balik kata-kata Did I mention that I love you? itu kecuali untuk melegakan hati saya saja. Orang yang mendengarnya pun tidak saya harapkan untuk menanggapinya dengan serius. Saya malah setengah berharap ucapan itu akan dijawab seperti dalam salah satu adegan film: Yes, you did. Get out, loser . Dan saya pikir that's enough for a loser like me. He he he...

Jumat, 14 November 2008

AGE OF INNOCENCE



Mengapa kita yang memintal kenangan

tak pernah ingat untuk membujuk waktu

agar merayap dengan sangat pelan

padahal kita segera dijemput kematian?



Mengapa kita ikat simpul cinta kuat-kuat

padahal di satu senja kita akan melepasnya

dengan sisa kelemahan yang kita punya

dan napas kita selalu patah?


Sayangku, cinta dan doaku adalah sayap yang akan menjagamu

dari hujan paling basah dan cuaca paling kerontang.


Catatan:

Puisi diatas dikutip dari karya Nurul Lathifah